Thursday 10 May 2012

SUMBER-SUMBER AGAMA DAN AJARAN ISLAM


Berikan masukan yang bermanfaat untuk hasil kelompok ini! TerimakasihSertakan alamat jika akan mengcopy. 

A.    Pengertian Sumber Ajaran Islam

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumber adalah asal sesuatu. Sumber ajaran Islam adalah asal ajaran Islam dan sumber agama Islam. Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam surat An-Nisa (4) ayat 59.
 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 tersebut, semua mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul, dan kehendak penguasa atau ulul amri kalangan mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam al-Hadits, kehendak penguasa berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran Islam dari tiga sumber utamanya yakni al-Qur’an, al-Hadits dan ra’yu atau akal pikiran yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Berijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mempergunakan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan, dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk ajaran mengenai hukum islam dari keduanya.
Ketiga sumber ajaran Islam ini merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan seperti tercantum dalam kalimat di atas, tidak boleh dibalik. Jika dihubungkan dengan peringkatnya masing-masing, al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber utama, sedangkan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat berijtihad untuk merumuskan ajaran, menentukan nilai dan norma suatu perbuatan dan benda, merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan.

B.     Isi dan Sistematika Al-Qur’an
1.      Pengertian
Al-Qur’an merupakan sumber agama juga ajaran Islam pertama dan utama. Pengertian secara harafiah berarti sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Sedangkan secara istilah, al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan melalui malaikat jibril, ke dalam hati Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab, disertai dengan kebenaran dan dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul, agar dijadikan sebagai undang-undang bagi manusia, serta sebagai petunjuk disamping merupakan ibadah bagi pembacanya. Menurut keyakinan umat Islam yang diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah, al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Medinah. Tujuannya untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
2.      Sistematika Al-Qur’an
Al-Qur’an yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz, 114 surah, 6666 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata jika dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia). Al-Qur’an tidak disusun secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di gua hira’ pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum hijriah atau pada malam Nuzulul Qur’an ketika Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat al-Alaq (96) : 1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 zulhijah tahun ke-10 Hijrah, kini terletak di surat al-Madinah (50) : 3.
Ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah disebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad pindah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah. Cirri-cirinya adalah :
1.   Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek. Merupakan  19/30 dari seluruh isi al-Qur’an, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Qur’an, terdiri dari 28 surat, 1.456 ayat.
2.   Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata ya ayyuhannas (hai manusia). Sedangkan ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata ya ayyuhallazina amanu (hai orang-orang yang beriman).
3.   Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengenai tauhid yakni keyakinan pada kemaha Esaan Allah, hari kiamat, akhlak, dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedangkan ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya.
4.   Ayat-ayat Makkiyah diturunkan selama 12 tahun 13 hari, sedangkan ayat-ayat Madaniyah selama 10 tahun, 2 bulan 9 hari.
Allah telah menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, dalam surat Al-Hijr ayat 9 :
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Sistematika al-Qur’an telah ditetapkan oleh Allah melalui malaikat Jibril yang disampaikan kepada Rasul-Nya Muhammad. Sistematikanya tidak seperti sistematik buku (ilmiah), yang mengikuti metode tertentu, suatu masalah dibicarakan dalam beberapa bab, bagian, dan butir-butir. Oleh karena itu, kalau kita membaca al-Qur’an, masalah aqidah misalnya, berdampingan dengan soal hukum, sejarah umat yang lalu disatukan dengan nasihat, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Maksud sistematik demikian adalah agar orang mempelajari dan memahami al-Qur’an sebagai satu-kesatuan yang harus ditaati pemeluk agama Islam secara keseluruhan tanpa memilah-milah bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dengan penyusunan ini, jelas al-Qur’an berbeda dengan kitab susunan manusia. Dalam hubungannya dengan risalah Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat yaitu berfungsi melemahkan argumentasi orang yang menentang kerasulan Muhammad dan kebenaran islam. Firman Allah dalam Surat Al-israa’ (17) ayat 88 :
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
3. Isi Kandungan Al-Qur’an
 Isi kitab susunan manusia adalah hasil penalaran insan, tujuannya untuk menjelaskan suatu masalah kepada manusia  di suatu tempat pada suatu masa, sedangkan al-Qur’an yang disusun oleh Allah berisi wahyu atau petunjuk-Nya untuk pedoman hidup dan kehidupan manusia dimana saja sepanjang masa.
Garis-garis besar isi kandungan al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
1.   Akidah (tauhid) : ajaran mengesakan Allah dan semua keyakinan yang berhubungan dengan Allah SWT.
2.   Syari’ah (baik ibadah ataupun muamalah) : mengajarkan perintah beribadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama manusia sebagai manifestasi ketauhidan.
3.   Akhlak dan semua ruang lingkupnya (menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela).
4.   Kisah-kisah umat manusia di masa lalu (seperti kisah kaum saba, Nabi Syu’ib, Nabi Luth, Nabi Hud, dan lain-lain).
5.   Berita-berita tentang kehidupan akhirat (janji dan ancaman).
6.   Benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam semesta termasuk manusia.
4.Penafsiran Al-Qur’an
Penafsiran Al-Qur’an dilakukan dengan mempergunakan berbagai metode diantaranya yaitu:
1.   Metode Ma’tsur
     Metode ini merupakan metode yang mempergunakan riwayat (cerita turun temurun atau sejarah) untuk menjelaskan Al-Qur’an.
2.   Metode Penalaran
Metode ini terdiri atas beberapa metode, diantaranya adalah:
a.       Metode Tahlili (Analisis)
      Metode tahlili adalah metode yang penafsirannya berusaha menganalisis kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan melihatnya dari berbagai segi.
      Penafsiran yang mempergunakan metode ini dalam pendekatannya mengikuti runtutnya (untaian) ayat-ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf (lembaran-lembaran).
b.      Metode Maudu’i (Tematik)
      Metode maudu’i adalah metode penafsiran Al-Qur’an menurut tema (pokok, judul) tertentu. Misalnya masyarakat, umat, agama, ilmu dan teknologi.
Dalam perkembangannya metode maudu’i terdiri atas dua bentuk yaitu:
1)      Menjelaskan pokok bahasan atau tema tertentu yang terdapat dalam ayat-ayat yang terangkum dalam satu surat saja. Misalnya tema ayat-ayat dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, dsb.
2)      Menjelaskan pokok bahasan dalam seluruh ayat Al-Qur’an, tidak terbatas pada ayat dalam satu surat saja. Mengemukakan langkah-langkah dalam menerapkan metode maudu’in disebut juga metode tauhidi (kesatuan). Langkah-langkah ini adalah:
(a)    Menetapkan topik atau tema masalah yang akan dibahas.
(b)   Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema.
(c)    Menyusun runtutan ayat yang sesuai dengan masa turunnya.
(d)   Memahami korelasi (hubungan timbal balik = munasabah) ayat-ayat dalam surahnya masing-masing.
(e)    Menyusun pembahasan dalam satu kerangka (bagan) yang sempurna.
(f)    Melengkapi pembahasan dengan hadis atau sunnah yang relevan dengan pokok bahasan.
(g)   Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan.
Keistimewaan metode maudu’i adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis (sunnah) nabi merupakan cara menafsirkan al-Qur’an yang terbaik, mudah dipahami dan membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an dan sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Contoh tafsir maudu’i atau tematik dalam bahasa Indonesia adalah Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab. Akhirnya perlu ditegaskan bahwa bagaimanapun baiknya penjelasan, tafsiran atau terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an. Tafsiran atau terjemahan al-Qur’an tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan al-Qur’an.

C.    Arti dan Fungsi Al-hadits
1.            Pengertian
Al-Hadits menurut pengertian bahasa ialah berita atau sesuatu yang baru. Dalam ilmu hadis istilah tersebut berarti segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda setuju (taqrir). Para ahli hadis, umumnya menyamakan istilah hadis dengan istilah sunnah. Namun, ada sementara ahli hadits mengatakan bahwa istilah dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi) dan sunnah taqririyah tidak disebutkan dalam hadits. Dengan demikian, sunnah lebih luas dan umum dibandingkan hadits. Sebab sunah meliputi perkataan, perbuatan, dan sikap diam rasulullah tanda setuju, sedang hadits hanya mengenai perkataan beliau saja.
2.      Peranan Al-Hadits
Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, Al-Hadits mempunyai peranan yang penting setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Sebagai utusan Allah Nabi Muhammad SAW mempunyai wewenang menjelaskan dan merinci wahyu Allah yang bersifat umum. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nahl (16) ayat 44:
44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,
[829]. Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
Ada tiga peranan al-Hadits disamping al-Qur’an sebagai sumber agama dan ajaran Islam. Adapun peranan al-Hadits adalah :
1.      Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Misalnya mengenai sholat, di dalam Al-Qur’an ada ketentuan mengenai sholat. Ketentuan itu dipertegas lagi pelaksanaannya dalam sunnah Rasulullah. Contoh lain, mengenai puasa selama bulan Ramadhan. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat mengenai puasa Ramadhan, tapi pelaksanannya ditegaskan dan dikembangkan lebih lanjut oleh nabi melalui sunnah beliau. Begitu juga dengan zakat dan haji.
2.      Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samaar ketentuannya di dalam al-Qur’an.
Contohnya : larangan Nabi mempermadu (menikahi sekaligus atau menikahi pada waktu yang bersamaan) seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat an-Nisa (4) : 23 :
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[281]. Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Jika dilihat dari hikmah larangan ini jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau terputusnya hubungan silaturahim antara dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama islam.
            Hadits atau sunnah kini dihimpun dalam kitab-kitab hadits (al-Hadits), terdiri dari ucapan (qaul), perbuatan (fi’il), dan sikap diam Nabi tanda setuju (taqrir atau sukut). Ucapan, perbuatan, dan sikap diam Nabi dikumpulkan tepat dalam awal penyebaran agama Islam. Orang-orang yang mengumpulkan sunnah Nabi (dalam kitab-kitab hadis) menyelusuri seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan, dan sikap diam Nabi. Hasilnya, dikalangan Sunni terdapat enam kumpulan hadis yang utama adalah yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim yang mendapatkan pengakuan di kalangan Sunni (ahlul sunnah wal jama’al-Hadits) sebagai sumber ajaran islam kedua sesudah kitab suci al-Qur’an.
            Di kalangan Syi’ah al-Hadits juga terjadi proses serupa, tetapi disamping ucapan-ucapan Nabi melalui keluarganya, ditambah lagi dengan ucapan para Imam Syi’ah al-Hadits yang menjelaskan arti petunjuk Nabi itu menjadi bagian kumpulan hadits. Salah satu kumpulan hadits yang menonjol di kalangan Syi’ah al-Hadits (Syi’i) adalah Usulil-Kafi karena Kulaini.
            Kitab-kitab hadits baik dari kalangan sunni maupun Syi’i adalah sumber pengetahuan yang monumental bagi islam, yang sekaligus menjadi penafsir dan bagian yang komplementer terhadap al-Qur’an. Sunnah, terutama ucapan Nabi, membahas berbagai hal mulai dari metafisika sampai pada tata tertib di meja makan. Di dalamnya orang dapat menjumpai apa yang dikatakan Nabi pada saat ia berada dalam kesusahan, waktu itu menerima utusan Negara lain, bagaimana ia memperlakukan tawanan, sikapnya terhadap keluarganya dan hampir segala hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Selain itu juga dibahas berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan metafisika, kosmologi, eskatologi, dan kehidupan spiritual. Sesudah al-Qur’an, kitab hadits yang memuat sunnah Nabi adalah sumber petunjuk paling berharga yang dimiliki umat islam. Keduanya adalah mata seluruh kehidupan dan pikiran islam. Keduanya merupakan sumber agama dan ajaran islam.
            Ada juga ucapan Nabi yang disebut Hadits Qudsi yang tidak menjadi bagian al-Qur’an tetapi di dalamnya Tuhan berbicara melalui Nabi, disampaikan dengan kata-kata Nabi sendiri. Hadits qudsi berisi petunjuk tentang kehidupan spiritual (kerohanian), tidak membahas soal-soal politik dan sosial dalam kehidupan. Isi hadits qudsi kebanyakan tentang hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan.

D.    Ra’yu
1.      Pengertian
Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah swt dengan berbagai perlengkapan yang sangat berharga antara lain akal dan keampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara kenyataan dengan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar. Dengan kehendak bebas (free will) yang diberikan Tuhan padanya, manusia dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai segala perbuatannya dalam memilih kebebasan dan tanggung jawab, kehidupan manusia menjadi kurang bermakna. Kemampuan berbicara merupakan manifestasi “keunggulan” manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan berbicara ia dapat menyatakan dirinya dan dengan kemampuan berbicara, manusia dapat menghubungkan diri dengan Tuhannya.
Akal, kehendak, dan kemampuan berbicara merupakan milik manusia yang sangat berharga. Namun, dalam pembicaraan ini yang hendak dikedepankan adalah akal manusia saja.
Perkataan al-‘aql dalam bahasa Arab berarti pikiran dan intelek. Di dalam bahasa Indonesia pengertian itu dijadikan kata majemuk akal pikiran. Perkataan akal dalam bahasa aslinya dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akar kata ‘aql mengendung makna ikatan.
Sebagai sumber ajaran ketiga, kedudukan akal pikiran manusia memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam. Di dalam kepustakaan, sumber ajaran Islam yang ketiga ini disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering disebut dengan kata ijtihad. Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan, dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam al-Quran dan al-Hadits.
2.      Kedudukan Ra’yu
Kedudukan ra’yu dalam sumber ajaran islam adalah sebagai aspek instrumental yaitu sebagai alat untuk menerapkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Dengan akal manusia maka muncullah berbagai macam ilmu seperti ilmu fiqih, tauhid, falaq, maupun ilmu tentang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.      Syarat-syarat Mujtihad
Ijtihad hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai mujtahid. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang tertulis dalam bahasa Arab.
2.      Mengetahui isi dan sistem hokum al-Qur’an serta ilmu-ilmu untuk memahami al-Qur’an.
3.      Mengetahui hadits-hadits hokum dan ilmu-ilmu hadits yang berkenaan dengan pembentukan hokum.
4.      Menguasai sumber-sumber hokum islam dan cara-cara (metode) menarik garis-garis hokum dari sumber-sumber hokum islam.
5.      Menguasai dan mengetahui kaidah-kaidah fiqih.
6.      Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hokum islam.
7.      Jujur dan iklas.
8.      Menguasai ilmu-ilmu sosial (Antropologi, Sosiologi).
9.      Dilakukan secara kolektif (jama’i) bersama para ahli disiplin ilmu lain.
4.      Metode-metode Ijtihad
Dalam ijtihad, metode yang disepakati kebanyakan ulama yaitu ijma’ dan qiyas. Ijma’ (persetujuan) yaitu kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Qiyas (analogi) dari segi bahasa berarti menyamakan sesuatu dengan hal lain. Secara istilah, menyamakan hokum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan as-shunah, karena persamaan illat (penyebab dan alasan). Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum adalah menjadi dalil bagi hokum-hukum agama yang bersifat alamiah.


Ahmad Taufiq dan Muhammad Rohmadi.ed. 2011. Pendidikan Agama Islam. Surakarta : Yuma Pustaka.
Imam Suyanto. 2005. Pendidikan Agama Islam. Kebumen : FKIP UNS.












2 comments:

wibiya widget