A. Perkembangan
Sosio-emosional dan Hubungan Pertemanan Anak
v Perkembangan
sosio-emosioanal
Ada 3
pandangan utama yang
dapat menjelaskan perkembangan sosio-emosional anak:
1. Teori
ethologi
Menurut teori ini, jalinan kasih sayang
ibu-anak yang merupakan dasar perkembangan sosio-emosional. Pada saat bayi lahir
relatif tidak berdaya dan tidak mampu untuk bertahan hidup sendiri. Secara
genetik, bayi dapat membuat orangtua tetap dekat dan merawatnya. Ibu juga
diharapkan dapat menangkap dan merespon sinyal-sinyal yang diekspresikan oleh
bayi.
2. Teori belajar-sosial
Jalinan kasih sayang ibu-anak merupakan
hasil dari interaksi antara ibu-anak yang merupakan kombinasi
penguatan positif dan negatif.
Penguatan positif diperoleh dari perilaku-perilaku yang menyenangkan dan
penguatan negatif diperoleh dari perilaku-perilaku yang tidak menyenangkan.
3. Teori perkembangan
kognitif
Menurut teori ini, perilaku sosial
diperoleh dari upaya bayi mengasimilasi peristiwa-peristiwa yang tidak
sesuai ke dalam struktur mentalnya. Jika
bayi menghadapi stimulus atau peristiwa yang familier, maka ia akan
menggabungkan stimulus tersebut ke dalam struktur mental yang sudah ada.
Begitupun sebaliknya.
Perkembangan awal emosi pada
bayi dilakukan
dengan menelaah ekspresi wajah. Ekspresi wajah bayi ini merefleksikan suasana
emosional yang dialaminya.
Proses perkembangan dan
differensiasi emosi pada anak menurut Bridges:
1. Saat lahir,
bayi memiliki kepekaan umum terhadap rangsangan tertentu misalnya suara,
cahaya, temperatur, dsb. Kepekaan umum ini merupakan dasar proses perkembangan
dan differensiasi emosi-emosi lainnya
2. Umur 3 bulan,
rasa ketidaksenangan dan kegembiraan bayi mulai didefinisikan. Bayi akan tersenyum
bila mendapat stimulus yang menyenangkan, dan menangis bila mendapat hal yang
tidak menyenangkan.
3. Umur 3-6 bulan,
rasa ketidaksenangan bayi mulai terdeferensiasi menjadi kemarahan, kebencian,
dan ketakutan.
4. Umur 9-12
bulan, rasa kegembiraan bayi juga mulai terdeferensiasi ke dalam kegairahan dan
kasih sayang. Kasih
sayang kepada orang-orang, benda-benda dan kegairahan untuk melakukan sesuatu
yang disenanginya.
5. Pada umur
sekitar 18 bulan, rasa cemburu pada anak mulai tumbuh misalnya bila orang yang
disayanginya berada dekat-dekat atau bersenang-senang dengan orang lain.
6. Sekitar 2
tahun, rasa senang anak menjadi keasyikan dan kenikmatan terhadap sesuatu. Anak
akan terlihat asyik berlama-lama dengan sesuatu yang dianggapnya menyenangkan
dan dapat menghiraukan hal-hal lain disekitarnya.
7. Sekitar 5
tahun, proses diferensiasi atau perkembangan emosi anak tampak mencapai puncak. Timbul rasa malu,
cemas, kecewa, harapan dan kasih sayang.
Penajaman dan penghalusan fungsinya masih
terus berkembang pada anak-anak usia SD melalui pengalaman-pengalaman
interaksional dengan lingkungannya.
Faktor
penting yang berpengaruh pada perkembangan sosio-emosi anak :
•
Perlakuan dan cara pengasuhan orang tua
Ini merupakan unsur yang sangat dominan,
karena orang tua paling banyak memiliki kesempatan berinteraksi dengan anak
pada awal perkembangan. Ada tiga unsur interaksi orang tua dengan anak :
1. Interaksi tatap
muka : hal ini penting bagi pengembangan komunikasi yang efektif
dan hubungan kasih sayang yang kuat. Ibu harus mampu merespon bayi, bila tidak
maka bayi akan menampakan kesulitan dan protes terhadap ibunya.
2. Kasih sayang dan kekerasan : kasih sayang antara
ibu-anak terlihat dari kehangatan dalm berkomunikasi, merespon kebutuhan bayi,
menghiburnya saat menangis, wajah bayi yang penuh senyum dan kehangatan saat
bersama orang tua dan menangis jika berpisah. Kasih sayang orang tua yang kuat
dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif anak. Kekerasan identik dengan hukuman fisik.
Terkadang orangtua tidak sengaja melakukan perlakuan keras, hal ini memiliki
konsekuensi negatif baik terhadap perkembangan kognisi maupun perkembangan
sosio-emosional anak.
3. Gaya pengasuhan orangtua. Ada tiga tipe pengasuhan
orang tua yaitu otoriter, permisif dan otoritatif.
•
Kesesuaian antara bayi dan pengasuh
Dalam proses interaksi antara pengasuh
dan anak, bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain yang
dapat menimbulkan persesuaian diantara keduanya. Ketidakcocokan akan menimbulkan
dampak negatif yang serius dalam perkembangan anak, misalnya anak stress,
murung, frustasi dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Yang paling penting
untuk dipahami oleh pengasuh adalah tangisan bayi.
•
Temperamen bayi
Cara berperilaku bayi yang dipengaruhi
oleh aspek genetis dan lingkungan. Ada tiga gaya berperilaku bayi yaitu bayi
yang mudah, sulit, dan lamban. Bayi yang mudah memiliki keteraturan, adaptif,
bahagia, mau mendekati objek baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur,
sering menangis, sulit beradaptasi. Bayi yang lamban cenderung kurang adaptif,
menarik diri, kurang aktif, respon kurang.
•
Perlakuan
guru di sekolah
Disekolah
guru adalah perencana dan bertanggung jawab utama kegiatan-kegiatan di sekolah
sehingga bagaimana lingkungan sekolah itu berpengaruh terhadap anak sangat
tergantung kepada apa yang mereka perbuat disekolah. Pengaruhnya tidak hanya
mengembangkan kognitif anak, melainkan juga pengalaman-pengalaman
interaksioanal guru dengan anak. Guru bisa menjadi idola dan bisa pula
sebaliknya.
v Hubungan
pertemanan (rekan sebaya)
Hubungan pertemanan ini ditandai
dengan semakin terlibatnya anak dalam
aktifitas atau interaksi dengan teman sebaya. Dua faktor yang mendorong anak
menjalin hubungan pertemanan. Pertama adalah adanya perangkat keterampilan
fisik dan komunikasi oleh anka sehingga memungkinkan ia untuk lebih memperluas
jaringan hubungan dengan orang lain. Kedua, karena kelompok teman sebaya dapat
memenuhi kebutuhan sosial anak.
Adanya kesamaan minat, harapan,
pola pikir, dsb yang dapat membuat anak senang dan puas yang tidak dapat
diperoleh dari orangtua atau orang dewasa. Sejalan dengan bertambahnya usia,
anak akan lebih banyak menggunakan waktu bersama dengan teman sebayanya.
Unsur
determinasi yang mempengaruhi hubungan pertemanan sebagai perkembangan
sosio-emosional anak :
1.
Kesamaan
usia : memungkinkan anak untuk memiliki minat-minat dan tema-tema pembicaraan
atau kegiatan yang sama sehingga mendorong terjalinnya hubungan pertemanan.
2.
Situasi
: misalnya pemilihan permainan
kompetitif atau kooperatif yang akan menggunakan orang / objek tertentu.
3.
Keakraban
: keakraban dapat mendorong munculnya
perilaku yang kondusif bagi ternbentuknya persahabatan.
4.
Ukuran
kelompok : bila jumlah anak dalam kelompok sedikit maka interaksi cenderung
lebih intens, baik, berpengaruh.
5.
Perkembangan
kognitif anak : anak yang kemampuan kognitifnya meningkat, hubungan pertemannya
juga meningkat. Anak akan dipercaya sebagai pemimpin dan memghadapi persoalan yang
perlu dipecahkan.
B. Perkembangan Identitas diri (self identity)
Menurut Erikson, identitas diri seseorang terbentuk
melalui perkembangan proses krisis psikososial. Setiap individu akan dihadapkan
pada krisis-krisis kehidupan dalm setiap fase perkembangannya jika individu
mampu mengatasi krisis-krisisnyang dihadapinta, maka ia akan memiliki
kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan untuk menguasai
lingkungan. Krisis yang dialami dialami oleh bayi hingga masa
anak yaitu :
1. Kepercayaan vs ketidakpercayaan (basic trust vs
basic mistrust)
Mencakup
kepercayaan dan perasaan bahwa dirinya dipercayai dan ada keterkaitan antara
kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan lingkungannya. Kepercayaan pada bayi akan
terbentuk jika orang tua dan orang dewasa memenuhi kebutuhannya. Begitupun jika
sebaliknya. Rasa tidak percaya pada bayi juga harus tetap ada tetapi tidak
boleh berlebihan, guna mendeteksi hal-hal buruk yang akan membahayakan dirinya.
2. Kemandirian vs malu dan
keraguan
Bila
anak diberi kesempatan yang cukup atas kemampuannya dan mendapat bimbingan maka
ia akan bersikap mandiri. Sebaliknya jika anak dipaksakan dengan apa yang tidak
sesuai dengan kemampuannya, ia akan ragu dan malu dalam berbuat.
3. Inisiatif vs merasa
berdosa
Dalam
mengidentifikasi dirinya, anak mulai berinisiatif jika dia diberi kesempatan.
Namun jika dia ditegur atau dikekang maka anak akan merasa serba salah atau
merasa berdosa.
4. Mampu berkarya vs
inferioritas
Pengalaman
keberhasilan yang diperoleh anak akan akan timbul rasa percaya pada diri anak
bahwa ia dapat berkarya. Namun jika anak banyak kegagalan, dia akan cenderung
merasa tidak percaya diri dan merasa bahwa dirinya tidak berani (inferior).
C. Perkembangan Kesadaran
Identitas Jenis Kelamin (Gender Identity)
Kesadaran
identitas jenis kelamin (gender identity) adalah kesadaran anak tenteng konsep
peran pria dan wanita dalam kehidupan.
Dari aspek biologis, adanya perbedaan anatomis dan
hormon antara pria dan wanita. Pria cenderung lebih agresif dan instrusif sedangkan
wanita bersifat inslusif dan pasif. Dari aspek social, anak mempelajarinya
melalui peniruan dan observasi terhadap perilaku orang lain. Dari aspek media
massa, melalui media massa akan mempengaruhi perkembangan peran seks. Dan yang
terakhir dari aspek pengaruh perkembangan kognitif. Seiring dengan perkembangan
kognitifnya anak terus didorong untuk tetap konsisten berperilaku sesuai dengan
peran jenis kelamin yang ada dibenaknya tersebut.
·
Perbedaan peran jenis kelamin
Dalam
aspek kognitif dan prestasi, ada kecenderungan (meski belum meyakinkan) bahwa
kemampuan verbal wanita lebih tinggi daipada pria. Dalam segi sosial dan
kepribadian, pria cenderung lebih agresif dan aktif sedangkan wanita lebih
mampu menbaca emosi orang lain, toleran dan peduli.
·
Pembentukan tipe peran jenis kelamin
Anak-anak
akan peka terhadap aktivitas yang sesuai dengan peran jenis kelaminnya.
Model-model yang diamati oleh mereka akan berpengaruh untuk melakukan peniruan.
Misalnya saja dalam hal memilih permainan, teman bermain, pemilihan baju, gaya
rambut, nama, cara berkomunikasi, dll.
·
Klasifikasi peran jenis kelamin
Anggapan
yang lazim diterima bahwa anak laki-laki harus tumbuh menjadi maskulin dan anak
perempuan tumbuh menjadi feminim.
D. Perkembangan Moral
Pengertian moral
mengacu pada aturan-aturan umum mengenai baik-buruk dan benar-salah yang
berlaku di masyarakat secara luas dan bagaimana orang seharusnya dengan dunia
sosialnya. Anak dituntut untuk dapat mematuhinya. Perubahan dalam pengetahuan
dan pemahamannya dipandang sebagai perkembangan moral.
1. Perkembangan moral anak menurut Piaget
Dalam
hal ini, ia memfokuskan pada aspek cara berfikir anak tenteng isu-isu moral. Menurutnya anak berfikir melalui 2 cara yaitu cara
heteronomus dan moralitas otonomus. Tahap heteronomus, anak menganggap keadilan
dan aturan sebagai sifat-sifat lingkungan yang tidak berubah dan lepas dari
kendali manusia. Tahap moralitas otonomus, anak sudah mengetahui bahwa aturan
dan hukum diciptakan manusia. Saat anak-anak berkembang, mereka mengalami
kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial melalui interaksi teman
sebaya untuk penalaran moralnya.
2. Perkembangan moral menurut
Kohlberg
Pendekatannya memilih untuk mendalami struktur berfikir
yang terlibat dalam penalaran moral. Ada 6 tahap dalam perkembangan penalaran moral yang dibagi menjadi 3 level :
level
1: penalaran moral prakonvensional
Pada level paling dasar, penalaran moral
dikendalikan pada faktor eksternal. Pertimbangan moral anak pada usia ini
didasarkan pada akibat-akibat yang bersifat fisik dan atau bersifat hedonistik.
Sesuatu dianggap benar jika menyenangkan dan dianggap jelek atau salah jika
menyakitkan.
o tahap 1: orientasi kepatuhan dan hukuman
Suatu tindakan dinilai benar atau salah tergantung
dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Misalnya, anak
dapat menganggap seorang dokter jahat karena persepsinya bahwa dokter suka
menyakiti.
o tahap 2: orientasi individualisme dan instrumental
Pada
tahap ini, suatu tindakan dianggap benar jika berkaitan dengan kejadian
eksternal yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya atau kebutuhan seorang
yang sangat dekat hubungannya dengan yang bersangkutan. Mengarah pada suatu
peralihan perspektif yaitu melibatkan orang lain.
level
2: penalaran konformis interpersonal
Pada level ini, penalaran moral mengacu kepada
tindakan seperti yang diharapkan oleh orang lain. Tindakan dinilai benar jika
sesuai dengan aturan yang berlaku di kelompok.
o tahap
3: orientasi konformis
interpersonal
Terfokus pada apa yang diyakini
oleh kebanyakan orang sebagai kebaikan/kebenaran. Keinginan
utnutk dipandang sebagai anak baik-baik oleh orang lain. Adanya aturan dalam
masyarakat membuat anak mematuhi aturan tersebut sehingga dirinya mendapat
penghargaan.
o tahap
4: orientasi hukum dan aturan
Tahap ini, adanya aturan-aturan yang lebih formal
dalam masyarakat. Kegiatan bermoral apabila sesuai dengan pemeliharaan aturan
masyarakat dan memungkinkan lembaga menjalankan fungsinya. Individu melaksanakan
aturan tersebut sebagai tugas dan kewajiban.
level
3: penalaran moral pascakonvensional
Pada level ini, beranggapan bahwa dalam
aturan-aturan sosial itu ada unsur-unsur yang dapat berubah dan bersifat subjektif,
tergantung pada kondisinya.
o tahap 5: orientasi kontrak sosial
Pada
tahap ini, ada suatu hubungan timbal balik sebagai hasil dari individu dengan
masyarakat untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
o tahap 6: orientasi etis universal
Adanya pemahaman lebih tajam tentang subyektifitas
aturan-aturan social. Pada tahap ini melibatkan prinsip-prinsip moral yang
transeden dan universal yang bersumber dari kata hati. Seseorang harus hidup
dengan hatinya yang menjadi sumber tertinggi dari pertimbangan-pertimbangan
moral.
E.
IMPLIKASI BAGI PERKEMBANGAN LINKUNGAN BELAJAR YANG KONDUSIF
Perkembangan
aspek sosioemosional anak pada usia SD masih perlu diperhatikan misalnya untuk menghadapi anak yang bermasalah diperlukan perhatian dan
penyediaan layanan bimbingan khusus dari pihak sekolah kepada yang
bersangkutan. Perlu adanya upaya pengembangan kesadaran sosioemosi anak dan
juga upaya penciptaan kondisi yang memberi kesempatan kepada setiap anak untuk
mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar sesuai dengan kultur
yang berlaku dengan disertai contoh kongkrit dari guru dalam perilaku sehari-hari.
Menonjolnya peran teman sebaya bagi anak SD juga perlu diperhatikan agar
anak dapat lebih terarahkan.
Berkenaan dengan perkembangan identitas diri dan
identitas peran jenis kelamin, sekolah perlu menyelaraskan kondisi lingkungan
sekolah dan perlakuan yang diberikan sesuai dengan kondisi anak.