Monday 3 September 2012

My Prince Hae, on The Way

Author   : TriLu (Saya sendiri)
FB          : Tarii Triluvu
Twitter   :@trilalalili
Genre    : Fantasy, Romance.

 Happy Reading........
Belva, gadis itu lari terbirit-birit ke kamar asramanya, asrama SpadeJack. Pikirannya tak tertuju pada lorong-lorong kastil yang haus akan cahaya matahari. Melayang dan terngiang diotaknya tugas besar yang diberikan oleh sang Profesor. Bagai bom yang siap meledak di pikirannya. Dihentakkan kaki serta pantatnya di sofa, menghadap jendela yang dengan kokohnya bertengger di kamar. Matanya menerawang jauh menusuk kaca jendela. Terpampang jelas burung-burung dengan riangnya bersiul seakan mengolok-olok Belva dari kejauhan. Helaan nafas terdengar sangat lambat bagai siput merangkak.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan?” bisik Belva pada Piau, indomonnya. Bentuk tubuh Piau yang bulat seakan terkesan seperti makhluk tanpa daya. Ia mempunyai sayap kecil pada punggungnya yang tidak bias dilihat dengan mata telanjang. Bulunya keunguan dan tergores keemasan pada beberapa sudut ditubuhnya. Bulunya akan mengeluarkan serbuk-serbuk kebiruan yang mengandung zat-zat berbahaya serta mulutnya akan mengeluarkan bunyi melengking saat keadaan mulai terancam. Tubuhnya sangat mungil namun akan menjadi the big body saat sedang terancam. Ia mempunyai ekor kecil yang merapat. Jika diulur, panjangnya bisa mencapai dua kali tinggi badan manusia dewasa. Tangan dan kakinya pendek serta halus namun kokoh, hidungnya lancip berwarna ungu keemasan senada dengan bulu-bulunya. Pipinya tak lekang oleh rona kebiruan, seperti memakai blash on. Sikapnya sangat aneh dan lucu.

Belva berdiri menghampiri jendela dan meninggalkan indomonnya. Bibirnya sibuk bergumam tak jelas. Tangannya terulur merapikan topi kebesarannya. “Aku harus turun ke bumi dan berhadapan dengan para muse –manusia non peri-. Mencari serbuk bunga liliya dan mencari penjual sum-sum iga Erectrus Dragonus. Sungguh tugas dari Profesor membuatku gila…!” teriaknya frustasi.

“Baiklah, karna tak diperbolehkan memperlihatkan sihirku didepan para muse, aku hanya akan membawa indomonku saja. Semoga indomonku kali ini tak bersikap aneh dan tidak membuat kekacauan.” ucap Belva mantap. Kemudian melangkah mengambil indomonnya beserta tas selempang. Dimasukan indomonnya pada tas tersebut. Belva melangkah kearah cermin yang terpampang jelas didepan matanya. Dirapikannya baju serta sepatu yang senantiasa melekat ditubuhnya. Seulas senyum tercipta diwajah mungilnya.

“Aku akan menyelesaikan tugasku dengan sebaik-baiknya. Sekarang aku telah siap untuk berangkat. Ku harap ini akan menjadi perjalanan yang berkesan untukku.” ucap Belva pada cermin usangnya. Kakinya melangkah keluar kamar. Bersiap menuju lorong panjang di Mustawa yang menghubungkan dengan dunia para muse. Belva lebih suka menyebutnya lorong waktulip, lorong waktu yang mempunyai warna berkelap-kelip. Karna perbedaan waktu seharilah yang terjadi. Di Mustawa sehari lebih cepat dibanding dunia para muse. Dalam lorong tersebut, hanya dapat melihat warna yang berkelap-kelip dengan indahnya dan juga tercium bau bunga tulip. Warna dan bau tersebut tercipta karna seringnya para penghuni yang melewati lorong tersebut mempunyai hati yang tulus. Pada ujungnya antara dunia muse dan Mustawa, terdapat kabut hijau biru keemasan. Kabut tersebut sangat besar dan hanya ada satu cara untuk keluar dari kabut tersebut, yaitu dengan menggunakan hati. Hati nurani dan niat yang tulus yang dapat menaklukan kabut tersebut. Belva pun menikmati setiap lorong yang ia lewati dengan suka cita.

“Nanana... aku pergi. Aku harap aku bisa kembali dengan selamat. Tentu aku akan merindukan Mustawa,” ucapnya sembari mengusap pipi mungilnya.

###
Matanya mengerjab kagum pemandangan di sekitarnya. Belva melangkah perlahan menyentuh dedaunan basah yang berhias embun-embun pagi.

“Inikah dunia para muse ?” gumamnya. Pepohonan terasa terlalu rapat hingga menyesakkan mata. Kicauan burung tak terdengar bersahabat.
“Mengapa aku merasakan aura yang tak biasanya. Mengerikan. Hutan apa ini? Seharusnya aku berada di lembah Khasmir bukan ?” Belva mulai melangkah kembali menyusuri setiap tapak dalam hutan. Pepohonan yang dilaluinya, seakan merong-rong, terusik kehadiran Belva. Sekelebat bayangan hijau kehitaman tertangkap oleh bola mata Belva. Dalam diri Belva, ia mulai merasa seakan terawasi oleh sesosok makhluk. Piau menyembulkan tubuhnya dibalik tas selempang yang ia pakai.
“Kau harus hati-hati Belva. Ada makhluk berbahaya dihutan ini, sepertinya makhluk penghisap energi,” ucapnya.
“Kau jangan menakutiku. Dan apakah kau tahu dimana kita berada?” Belva mulai siap siaga.
“Aku tak tahu persis, hanya dapat merasakan kehadirannya. Sepanjang lorong tadi, aku tertidur.” kata Piau dengan tampang polosnya.
“Yak! Kau tidur terus! Baiklah kita harus keluar dari hutan ini dan segera ketempat tujuan. Jangan sampai kita tertangkap makhluk yang katamu penghisap energy itu.” Belva mulai melangkah cepat. Piau kembali masuk dalam tas Belva.
BRAKK!!! SREKK!!!
Tiba-tiba Belva merasa ditubruk dan terpelanting kearah pepohonan. Tubuhnya sukses menabrak pepohonan disampingnya. Sekujur tubuhnya seakan kaku. Mulutnya meringis menyalurkan rasa sakit yang dideranya. Seakan kesadarannya sudah kembali, ia mengamati keadaan disekelilingnya. Raungan tawa menggema di hutan pekat tersebut. Tak ada sesosokpun yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan Belva.

“Piau Piau Piau…” panggil Belva lirih dengan suara bergetar menahan sakit punggung.
Piau pun keluar dan dalam sekejap bulu-bulunya telah mengeluarkan serbuk-serbuk kebiruan. Dikibaskannya serbuk tersebut kesegala arah. Perlahan terpampang makhluk besar bertelinga bagai keledai runcing dan tubuhnya dipenuhi lendir hijau, lendir itu dengan setia meleleh ditempat makhluk itu berdiri. Menjijikan.

“Belva, bersiap-siaplah naik ke punggungku. Kita tak punya waktu lama. Makhluk penghisap itu ternyata sejenis Ogre. Makhluk yang berbahaya dan dapat membalikkan posisi kita menjadi sama sepertinya dengan cara menghisap seluruh energi kita. Cepat!” perintah Piau. Belva dengan rasa sakit yang menghujani tubuhnya berusaha berdiri dan menghampiri Piau. Sedangkan makhluk menjijikan itu telah bersiap menerkam Belva dengan tangannya yang memanjang. Sedetik saja, maka tangan tersebut akan berhasil menangkap tubuh Belva. Namun, Piau dengan sigap menghempaskan tangan itu dengan ekor panjangnya. Piau mengubah tubuhnya menjadi besar dan dikepakkan sayapnya. Belva dengan cepat naik pada punggung Piau. Piau pun tak menunggu waktu lama, ia langsung melesat terbang. Ogre itu masih mengikuti mereka. Piau semakin mempercepat laju terbangnya dan dengan lihai menaklukan hutan pekat itu. Sekali saja ia lalai, maka habislah riwayat Belva. Sekian lama melesat dan mulai menemukan titik terang keluar dari hutan, Piau pun mencari tempat untuk mendarat. Tempat yang sepi dan tidak memungkinkan ada muse yang melihatnya.

Belva turun dari punggung Piau, dan dalam sekejab Piau telah mengecilkan tubuhnya.
“Lihatlah. Aku menang bukan? Haha…” tawa Piau sembari berjingkrak-jingkak dengan kaki pendeknya.
“Hei! Terimakasih Piau. Kau memang hebat!” ucap Belva sembari mengangkat tinggi-tinggi tubuh mungil Piau.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan!” sambung Belva kembali melangkah dan memasukan Piau pada tas selempangnya.
“Yak! Kenapa aku dimasukan lagi!” protes Piau.
“Diamlah dan jangan bertingkah aneh. Para muse tak boleh melihatmu!” perintah Belva pada indomonnya. Belva pun menatap wajah Piau, lalu mencubit pipinya. Merasa gemas dengan rona biru yang menghias diwajah indomon kesayangannya. Belva meringis, merasakan nyeri yang mendalam pada punggungnya. Namun, Belva tak menggubrisnya. Ia pun bergegas pergi.

Dalam perjalanannya, Belva mulai bertatap muka dengan para muse. Ia merasa aneh dan bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Sementara ia tak tahu dimana sekarang ia berada. Tempat itu sangat ramai oleh para muse yang menjajakan berbagai barang didepannya.

“Apakah ini yang disebut pasar? Aku pernah membacanya di perpustakaan Mustawa.” gumam Belva memandang dengan kerutan di dahinya. Bola matanya yang kecoklatan tak sengaja menangkap sosok penjual lelaki yang kelihatan dari usianya telah mencapai satu abad lebih. Kaki Belva perlahan mendekati lelaki tua itu. Tepat di depan lelaki yang dituju, Belva pun berhenti dan memandang bingung dengan aktivitas yang tengah dilakukan lelaki berjanggut putih itu.
“Kau mencari apa nak?” tanya lelaki tua renta itu pada Belva.
“Ah iya, emmm Kakek sedang apa ?” tanya Belva seakan tuli dengan pertanyaan yang dilontarkan lelaki didepannya.
“Haha… Kakek Teuk sedang merawat benda yang sangat penting untuk Kakek,” gelak tawa Kakek itu terdengar bersahabat. Kakek Teuk, itulah namanya. “Kau? Sepertinya kau bukan orang sini. Wajahmu tampak lain” sambungnya.
“Oh… iya Kek, saya sedang dalam pencarian mencari sesuatu. Emmm, apakah Kakek mau membantuku?” Belva dengan hati-hati duduk disebelah Kakek itu.
“Memang kau akan kemana anakku?” tangan Kakek mulai membelai lembut rambut Belva. Belva seakan teringat memori saat bersama Kakek kandungnya. Namun, Kakeknya telah tiada bersama dengan nenek dan ayahnya. Ia sangat merindukan belai kasih sayang mereka.
“Aku mendapat tugas dan harus ke lembah Khasmir Kek…” jelas Belva singkat. Ia masih terbuai dengan kenangannya.
“Masih jauh sekali dari sini. Apakah kau tahu tempat apa ini ? Ini adalah kampung kecil yang bernama Nagarkot,” Kakek menghela nafas dalam. Kemudian melanjutkan perkataannya, “Apakah kau melewati hutan disalah satu sudut pegunungan Himalaya itu dan bertemu makhluk mengerikan?” perkataan Kakek sukses membuat Belva terperanjat menegakkan tubuhnya.
“Darimana kakek tahu hal itu?” tanya Belva dengan mata membulat.

“Kau tak dapat menyembunyikannya dariku nak. Lihat sepatumu. Ada lendir hijau itu. Aku tahu dihutan itu ada makhluk sejenis Ogre. Kami menyebutnya Ogrelin. Karna Ogre tersebut merupakan Ogre yang berbeda dan menyerupai Goblin. Dahulu, nenek meninggal karna dihisap seluruh energinya olehOgrelin itu. Saat itu, kakek dan nenek sedang mencari cucu kami yang masih sangat belia hilang di hutan. Saat cucu kami ditemukan, ia dalam kondisi sedang memegang benda ini. Saat kami tanya darimana ia mendapatkan benda ini, ia hanya menjawab dengan tangisan. Kami pun segera keluar dari hutan. Namun, saat akan keluar hutan, kami diserang oleh Ogrelin dan nenekpun meninggal. Kakek dan cucu kakek selamat karna benda ini.” jelas Kakek sembari menunjukan benda yang sedari tadi digosoknya. Benda tersebut seperti mutiara berwarna hitam berkilau dan terdapat bercak-bercak merah dengan bentuk tak beraturan. Batu yang terasa berat jika dipegang walau ukurannya kecil. Memantulkan cahaya terang dan sedikit transparan.

“Ini Bloodstone, batu darah. Mengandung energi besar untuk melawan segala yang mengancam. Hanya bisa berfungsi jika berada ditangan orang yang berhati tulus dan berniat baik,” kakek meletakkan batu itu ditelapak tangan Belva. Menuntun Belva untuk menggenggam batu tersebut. Belva hanya terdiam dan melihat tangannya.
“Gosoklah dipunggungmu. Sembuhkan luka itu dengan Bloodstone, pelan-pelanlah. Kau anak yang baik” Seakan kembali terkesima oleh perkataan Kakek, Belva pun mengangkat wajahnya dan beralih menatap wajah Kakek. Dalam pikirannya ia tak mengetahui bagaimana bisa kakek tahu bahwa punggungnya terluka.

“Jangan banyak bertanya, lakukanlah. Kakek tahu dari gelagatmu yang sedari tadi meringis memegang punggungmu.” kata Kakek seakan dapat membaca pikiran Belva. Belva pun hanya tersenyum simpul dan mulai menggosok punggungnya diruangan yang sudah disediakan oleh kakek.

Beberapa menit pun terlampaui, Belva keluar dan segera meminta izin pada Kakek untuk melanjutkan perjalanan. Belva pun tak segan-segan menceritakan tujuannya ke lembah Khasmir adalah untuk mencari serbuk bunga liliya. Kakek dengan setia memberi petunjuk jalan yang harus ditempuh oleh Belva. Belva harus ke sebuah lembah diselatan dari ujung paling barat barisan Himalaya.

“Bawalah batu dan bekal ini. Sewaktu-waktu kau akan membutuhkannya, jaga baik-baik batu ini. Konon, dilembah tersebut banyak sekali hal yang mengerikan. Berhati-hatilah dalam perjalananmu nak.” Kakek memberikan Bloodstonenya pada Belva.
“Terimakasih Kek, ah aku akan menjaganya dan akan selalu mengingat kakek. Doakan aku kek, semoga aku dapat mencapai tujuanku. Terimakasih sekali lagi atas batu, bekal, dan petunjuknya kek. Aku akan berhati-hati.” ucap Belva menahan cairan bening di pelupuk matanya dan memeluk Kakek yang sudah disayanginya seperti kakek kandungnya. Belva mulai melepas pelukannya.
“Oh iya! Kakek belum menceritakan cucu kakek. Dimana ia kek?” tanya Belva. Kakek hanya tersenyum dan mengusap pipi Belva yang sudah basah oleh air mata. Belva memang cantik dan terlihat tegar didepan orang-orang, tapi ia pun mudah menangis jika telah berada didepan orang yang disayanginya.
“Ia sedang pergi. Cucu kakek sangat berbeda. Ia sangat tangguh dan baik. Kakek pun merindukannya. Mungkin dalam perjalanan, kau akan bertemu dengannya.” jelas kakek. Belva pun ber-oh ria dan mulai melenggang pergi. Tangannya tak henti-hentinya melambai pada kakek dan seulas senyum menghias wajahnya.
“Aku pasti akan bertemu cucu kakek! Dan aku akan membawanya untuk kakek…!” teriak Belva dari kejauhan. Belva menyimpan Bloodstone pada tas yang setia bertengger pada tubuhnya.
“Piau, kau senang? Kita mendapat batu dan makanan ini…” ucap Belva lirih pada Piau didalam tasnya.
“Lalala yeyeye!!! Kakek itu baik sekali padamu. Ayo kita lanjutkan perjalanan!” pekik Piau bersemangat dari dalam tas merah silvernya.

###
Kampung kecil Nagarkot terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jalannya sangat buruk dan sempit namun pemandangan yang disajikan cukup indah dan menawan. Lembah-lembah terpampang jelas dari kampung kecil itu. Disebelah barat dapat dilihat lembah Kathmandu, Patna, dan Bhaktapur. Di timur laut, pemandangan lembah Indrawati dengan bukit-bukitnya yang indah tampak memanjakan mata. Lembah Khasmir merupakan lembah besar di selatan dari ujung paling barat barisan Himalaya yang dikelilingi oleh gunung yang luar biasa dan dialiri oleh banyak aliran dari lembah-lembah. Tanahnya sangat subur sehingga terlihat banyak pepohonan yang menjulang tinggi beserta dengan kebun-kebun yang menghiasi lembah Khasmir. Terlihat menakjubkan namun mempunyai nilai mistis yang tinggi. Konon, banyak makhluk mengerikan bersembunyi. Akar-akar menyerupai ular dapat bergerombolan muncul secara serentak dari tanah disekitar kebun bunga liliya. Disetiap tebing-tebing curamnya terdapat makhluk bernama Tellem yang memiliki kekuatan untuk terbang dan dapat menyemburkan gas beracun.

Belva masih setia berjalan dan menikmati setiap perjalanan. Tak lupa ia senantiasa bertanya pada para muse yang ditemuinya serta beristirahat barang sejenak. Dengan bekal yang diberikan Kakek, ia dapat memulihkan tenaga untuk kembali menyusuri lembah-lembah yang tajam. Kakinya merasa dihujani berton-ton karung goni berisi baja. Terasa sangat berat untuk melangkah, nafasnya pun mulai tersenggal.  Kepalanya mulai pening dan tanpa sadar ia menjejakkan kakinya pada batu yang salah. Tebing curam terpampang jelas dibawah kaki Belva. Sadar akan kelalaiannya, Belva tersentak namun waktu seakan tak berdamai dengannya. Ia terperosok. Meluncur melesat kebawah.

SRAKKK!!!
“Aaa…!!! Tolooong…!!!” Belva tak bisa menahan deru jantungnya yang semakin memacu. Selamat, tangan Belva berhasil menggapai salah satu cabang pohon yang terulur di tebing curam itu. Piau menyembul dari balik tasnya dan siap menolong. Makhluk-makhluk kerdil muncul dari balik tebing dan berkumpul lalu terbang secepat kilat menghempas tubuh mungil Piau. Piau yang masih dalam kondisi belum siap pun jatuh ke daratan dalam lembah itu. Tellem, nama makhluk kerdil itu pun melesat mendekati Belva. Belva mulai panik dan bingung dengan apa yang harus dilakukan. Tellem-Tellem itu semakin dekat dan siap menyembur gas pekatnya secara bersamaan. Dihentak-hentakkan sayap runcingnya dan BURRR!!!

“Aaa…!!!” Suara teriakkan menggema memecah keheningan lembah. Suara kesakitan para Tellem yang terkena balik oleh gas pekatnya menggema dan menimbulkan getaran pada dinding-dinding lembah. Bloodstone yang telah dirangkai menjadi kalung oleh Belva ternyata mampu membalik gas pekat itu kearah Tellem.
“Aaa…!!!” gema kesakitannya terdengar memekik telinga. Senjata makan tuannya membuat tubuhnya hancur berkeping-keping menjadi abu coklat yang terhempas oleh angin.
Belva hanya memandang dengan raut wajah tak mengerti sekaligus ngeri dengan pemandangan yang terpampang jelas didepan matanya. SRAKK!! Ranting itu tak kuat lagi menahan berat tubuh Belva. Dan…
“Aaa…!!!” jerit Belva pasrah.
“Aaa…!!!”

HAP! Belva seperti disambar oleh sesuatu. Tak merasakan secuil pun rasa sakit pada tubuhnya. Matanya terpejam sangat erat. Getaran tubuhnya menjadi-jadi bahkan untuk sekedar membuka mata ia tak mempunyai daya barang sedikitpun. Hanya dapat merasakan bahwa dirinya terbang dan didekap erat, entah siapa yang melakukannya.
“Bukalah matamu. Kau selamat.” Sayup-sayup indra pendengaran Belva menangkap suara berat seseorang yang mendekapnya erat. Suara bagai emas menusuk gendang telinga Belva. Seakan tersihir suara itu, Belva pun menurut dan dengan sekuat tenaga membuka matanya.
“Ka- Ka- Kau Sip- Siap- a?” pita suara Belva tercekat melihat pemuda didepannya dan hampir saja ia pingsan jika suara berat itu tak terdengar lagi.
“Hei kau! Jangan pingsan dulu! Cepatlah kendurkan tanganmu, bisa-bisa aku mati kehabisan nafas dipeluk olehmu. Kita sudah sampai, duduklah!” perintah pemilik suara emas itu.
“Emm, ma- maaf. Bukankah kau yang memelukku!!! Enak saja!” jawab Belva tak mau kalah. “Ah sudahlah, kau siapa? Dan kenapa kau mempunyai sayap itu?” tenaga Belva telah setengah kembali dan sekarang ia terheran-heran melihat sayap yang tercetak jelas pada punggung pemuda itu. Pemuda yang kira-kira tak jauh berbeda usianya dengan Belva. Secara otomatis Belva mengira pemuda itu sama seperti dirinya. Peri.
“Apakah perlu kuceritakan padamu? Tidak penting. Kau bukan muse kan? Aku tahu itu.” ucap Pria itu singkat dan terkesan sinis.

“Ya, aku memang bukan muse. Aku peri. penyihir dan tujuanku kesini adalah mencari lembah Khasmir dan mendapatkan serbuk bunga liliya saat angin Harrach datang pada sepertiga malam bulan sabit diakhir penghujung musin gugur. Angin itu akan dapat menumpahkan serbuk itu. Untuk itulah aku segera cepat-cepat untuk mendapatkannya. Ah untuk apa aku menceritakan ini padamu! Kau siapa? Pertanyaanku belum dijawab sedari tadi!” ucap Belva meninggikan nada bicaranya.

“Huh. Aku Hae. Dulu aku muse. Namun, sejak aku tersesat dalam hutan sewaktu kecil, aku dihibahkan oleh sesosok makhluk mistis dan jadilah aku seperti ini.Lebih tepatnya sekarang aku adalah setengah muse. Darahku masih berbeda dengan darahmu. Dan kalungmu itu… Darimana kau dapatkan batu itu? Itu adalah batuku. Batu itu tak ada duanya dan hanya aku yang memilikinya. Batu itu memiliki kekuatan kebijakan dan keberanian. Apa kau mencurinya!” gertak Hae pada Belva.
“Yak! Jangan asal tuduh! Enak saja. Aku mendapatkannya dari seorang kakek di Nagarkot!”
“Kakek ? Cepat ceritakan ciri-cirinya!” bujuk Hae namun terkesan dengan nada memaksa. Belva pun mulai menjelaskan pada Hae dengan raut wajah yang sedikit kesal dengan sikap menyebalkan yang timbul di diri Hae.
“Dia adalah kakekku…” pernyataan lirih Hae sukses membuat Belva menutup mulutnya dan membulatkan matanya.

“Kau… Kau adalah cucunya?” Hae hanya mengangguk menjawab keterkejutan Belva. Beberapa saat kemudian, “Piauuu… !!!” Belva berteriak memanggil Piau. Ia baru sadar bahwa Piau hilang. Belva meminta pada Hae untuk membantu mencari Piau. Berkat bantuan Hae, Belva menemukan Piau yang dalam kondisi meringis kesakitan. Belva teringat Bloodstonenya dan segera mengoleskan pada tubuh Piau. Piau diletakkan pada tas selempangnya untuk beristirahat dan memulihkan energinya. Hae pun terus menemani Belva mencari serbuk bunga liliya. Hingga sampailah mereka di lembah Khasmir. Satu kebun yang membuat mata takjub dan berbinar-binar. Kebun bunga liliya. Baru selangkah Belva mendekati kebun itu, kakinya tiba-tiba terlilit akar-akar seperti ular yang menjalar-jalar. Hae pun sigap untuk terbang. Lilitan itu semakin menjalar ke tubuh Belva.
“Sesak! Tolooong…!” Piau tidak bisa berbuat apa-apa dalam tas selempang Belva. Kekuatannya belum pulih.
“Hae! Tolooong a- aku! Uhuk huk!” Belva sekuat tenaga menjeritkan nama pria itu. Akar-akar ular itu mulai merambat sampai kedada Belva.

“Cepat! Lemparkan kalung itu padaku! Cepat lakukan! Aku akan menolongmu.” perintah Hae. Belva mulai dengan usahanya membebaskan tangannya dan meraih kalung dalam lehernya. SETT! Belva melempar kalung itu ke udara dan tertangkap oleh Hae. Pantulan sinar hijau tersembul dari batu Bloodstone dan mengarah pada akar-akar yang melilit pada tubuh Belva. Lilitan itu mulai mengendur dan kemudian hilang menjadi dedaunan. Belva dan Hae pun bernafas lega dan bergegas mengambil serbuk bunga liliya.
“Tunggu. Kau lupa ini,” Hae mengarahkan kalung itu didepan Belva.
“Ah iya. Emm, tadi katamu itu adalah milikmu.” Belva menunduk. Hae berjalan mendekati Belva dan berhenti tepat satu langkah didepan Belva. Hae mengangkat tangannya yang memegang kalung. Memakaikan kalung itu dengan perlahan ke leher Belva. Belva yang merasakan hal itu pun mengangkat wajahnya. Menatap tepat di manik mata Hae. Hae salah tingkah dibuatnya. Tatapan itu menjadi warna awal yang membelenggu hatinya. Warna cinta.

“Untukmu. Aku berikan ini untukmu.” senyum Hae menghias wajah tampannya. Senyum termanis yang mampu membuat hati Belva bergempa, menimbulkan bunyi seperti di medan perang.

###
            Belva tertidur di punggung Hae. Terbang ditengah malam yang dingin, disaat para muse tertidur lelap. Membungkus kulit dengan kehangatan yang ditebar. Selepasnya dari lembah Khasmir, Belva dan Hae kembali ke kota Nagarkot dan bertemu dengan kakek Teuk. Kakek Teuk sangat senang dan memerintahkan Hae untuk menemani perjalanan Belva. Setelah sehari semalam beristirahat di Nagarkot, mereka menuju ke semenanjung pantai Medeteranian mencari satu-satunya penjual sum-sum iga Eractrus Dragonus.

            Pagi yang sangat dingin. Hitam gelap gulita masih mewarnai langit. Sampailah mereka di semenanjung pantai Medeteranian yang sangat sepi dipagi buta ini. Hae mulai membangunkan Belva dan bersiap mendarat. Belva sibuk mengerjapkan matanya dan merapikan rambut serta topi mahkotanya. Sesaat setelah sukses mendarat, sayap Hae menghilang dibalik punggungnya.

“Hei! Turun! Sampai kapan kau akan menaiki punggungku. Kau sangat berat!” gertak Hae.
“Selalu saja kau berisik! Huh!” Belva mulai turun dan berjalan pergi meninggalkan Hae. Baru selangkah berjalan, Hae tiba-tiba memegang tangan Belva. Menahannya agar tidak pergi.
“Apa lagi?” ucap Belva sinis.
“Tunggulah sejenak. Aku perlu istirahat.” ucap Hae lirih. Kemudian menarik dan menuntun Belva ke bawah pepohonan yang rimbun. Hae terduduk dan memejamkan mata. Belva hanya memandangi wajah Hae dan kemudian terduduk disampingnya. Bahu Belva tak luput dari kepala Hae yang menyandar.
“Kau pasti sangat lelah. Istirahatlah... Nanti stelah kau pus tidur, pasti akan kukerjai kau, ahaha....” pekik Belva lirih sembari mengusap pelan rambut Hae. Hae telah larut dalam mimpinya.
J J J
Sudah berhari-hari Belva mencari penjual sumsum iga Erectrus Dragonus, namun hasilnya nol besar. Beberapa kota disemenanjung pantai Medeteranian seperti Marseille, Montpellier, Alexandria, dan lain sebagainya telah disinggahi. Sangat susah menemukannya. Tak henti-hentinya Hae menyemangati Belva namun tak henti-hentinya pula Hae membuat kesal Belva.

Disuatu hari yang terik, Belva terduduk lemas tak berdaya. Ia merasa sudah putus asa untuk mencari penjual itu. “Aku capek! Aku capek Hae! Sampai kapan aku harus mencarinya? Apa sampai aku akan mati baru aku bisa menemukannya!!!” teriak Belva tak karuan.
“Sabarlah Bel, aku senang begini.” jawab Hae enteng.
“Yak! Senang? Jangan becanda Hae. Kau tahu kita sudah kesana-kesini bolak-balik tapi apa hasilnya. Tak ada! Sampai mulutku berbusa hanya untuk bertanya pada penjual-penjual disini. Tapi apa yang dikatakan mereka, mereka tidak tahu penjual sum-sum iga itu!” Belva semakin kacau, menarik topinya dan membuangnya. Membuat rambutnya berantakan.
“Maafkan aku Bel. Maksudku, aku senang selalu bersamamu walau kaki ini mulai letih. Dengan senyum yang kau berikan, aku tak ragu untuk selalu bersamamu, untuk selalu membantu dan melindungimu,” Hae menatap lekat mata Belva. Cairan bening menghias dipelupuk mata Belva dan siap untuk ditumpahkan.
“Aku sudah tak tahan lagi Hae... Apa aku harus kembali ke Mustawa tanpa membawa sum-sum iga? Itu berarti aku gagal Hae. Aku harus bagaimana...” Belva kini mulai terisak. Sesak yang ada di hatinya. Ia ingin melonggarkan tali-tali belenggu dalam hatinya yang kian mengikat kuat. Tangis, hanya tangis yang mampu mengendurkan tali itu. Deru nafasnya memilukan. Hae menatap Belva dan tangannya terulur menghapus cairan bening yang membasasi pipi gadis yang disayanginya itu. Sedetik kemudian, mendekap erat tubuh Belva seakan ia menyerahkan sandaran untuk Belva menangis. Menenangkan Belva dengan sentuhan lembut tangan Hae yang merapikan rambut Belva.

Tiba-tiba Piau berbisik-bisik dari dalam tas Belva. Hae yang mendengarnya langsung mendudukan Belva yang masih lemas. Hae berlari pergi menuruti petunjuk Piau. Beberapa menit kemudian, Hae kembali. Nafasnya tersenggal-senggal. Belva yang melihatnya dari kejauhan langsung berdiri dan berlari kearah Hae.
“Kau tak apa-apa Hae? Kemana kau?” Belva tak sabar menunggu Hae menjawab.
“Hah hah Hafh... Piau telah membisikkan letak penjual sum-sum iga Erectrus Dragonus yang kau cari. Hafh hafh… Indra penciumannya menangkap bau sum-sum iga dan aku berhasil menemukannya. Ayo ikut aku!” Hae masih sibuk mengatur nafasnya.
“Benarkah? Kau sedang tidak becanda kan Hae?” tanya Belva kaget dan tak percaya.
“Ikut saja!” Hae menarik tangan Belva dan mengantar Belva ke penjual sum-sum iga itu. Mata Belva berbinar-binar melihat didepan matanya sesosok penjual sum-sum iga yang dicarinya selama ini. Refleks Belva menghadap Hae, dan memeluknya erat.
“Terimakasih Hae. Terimakasih” Belva tanpa sadar masih saja memeluk Hae dengan eratnya.
“Uhuk uhuk!! Sudah sudah. Bisa mati aku! Berterimakasihlah pada Piau. Dia yang menemukan.” Belva melepas pelukannya dan beralih melihat Piau yang ada didalam tasnya. Mencubit pipi Piau. Memanjakan Piau dengan segala kasih sayang Belva.

Belva pun langsung mengutarakan maksud dan tujuannya pada penjual sum-sum iga. Penjual itu sangat ramah dan baik. Setelah berlama-lama bercerita, ternyata penjual itu adalah pamannya Hae. Namanya pun cukup nge-trend, Paman Kyu. Dahulu, semua keluarga besar Hae memang asli bertempat tinggal disana. Saat Hae masih dalam kandungan, keluarganya memilih pindah karna sebuah masalah yang terjadi. Ayahnya Hae merasa tidak terima pada Paman Kyu yang diberi kepercayaan menjual sumsum iga Erectrus Dragonus. Hingga ia memilih pergi ke Nagarkot membawa istri serta anak dalam kandungan istrinya. Selang beberapa minggu, ayah Hae dikabarkan meninggal. Nenek dan Kakek Teuk pun menyusul ke Nagarkot untuk menjaga Hae yang ditinggal mati ibunya saat melahirkannya. Hae yang mendengar cerita itu pun baru tahu kisah keluarganya.
“Ini, bawalah pulang nak.” Paman Kyu itu memberikan sebungkus sum-sum iga Erectrus Dragonus pada Belva.
“Terimakasih banyak Paman Kyu, anda baik sekali dan juga tampan. Kurasa ini sudah cukup banyak. Sekali lagi terimakasih. Mungkin lain waktu, aku bisa berkunjung kemari lagi menemui anda.” Belva tersenyum riang.
“Kau anak yang manis, berhati-hatilah dalam perjalananmu nak. Jangan pernah putus asa, kau akan menemukan kemudahan dibalik kesulitanmu.” Nasihat Paman Kyu itu terekam di otak Belva. Belva tersenyum kemudian pergi bersama Hae dan Piau yang ada dalam tasnya.

###
Kabut besar berwarna hijau biru keemasan terlihat seperti pintu kedukaan sekaligus pintu kebahagiaan bagi Belva. Ya, mereka telah berada di Greenland, tempat dimana terdapat lorong tangga yang menghubungkan dengan Mustawa. Belva bahagia karna dapat kembali. Namun, hatinya menjerit-jerit tak ingin berpisah dengan Hae. Pria yang telah mengisi kekosongan hatinya selama beberapa hari ini. Pria yang selalu membantu dan melindungi dirinya. Pria yang juga selalu melukis senyum diwajah mungil Belva.

“Kau setengah muse, aku ingin selalu bersamamu Hae. Aku menyayangimu. Aku… aku ingin kau ikut denganku Hae…” Belva kembali terisak dalam dekapan Hae. Hae terdiam cukup lama. Hatinya bagai teriris pedang melepas gadis yang dicintainya.

“Kembalilah ke Mustawa. Aku tidak bisa ikut denganmu. Suatu saat mungkin aku bisa menjadi sepertimu dan masuk dalam Mustawa. Tunggulah aku. Aku menyayangimu.” Hae melepas pelukan itu dan mencium kening Belva cukup lama. Waktu terasa berhenti seakan ikut dalam haru yang dirasakan mereka.

“Masuklah. Teman-temanmu pasti telah menunggumu.” Hae mengelus rambut Belva. Belva dengan langkah tertatih mendekati kabut itu. Ditatapnya Hae untuk terakhir kalinya. Bukan, bukan untuk terakhir kalinya. Belva tak mau mengatakan kata yang menyakitkan itu.
Belva berhenti. Membalikkan badannya. Kembali menghambur ke pelukan Hae. Berat, sangat berat meninggalkan Hae. Seakan separuh jiwanya tertinggal. Beberapa menit, hanya suara isakan Belva yang terdengar. Hae menepuk-nepuk punggung Belva. Menenangkannya. Isakan itu semakin menyesakkan dada Hae. Sangat, sangat sesak harus berpisah seperti ini.

Belva melepas pelukannya dan berlari masuk dalam kabut. Menyusuri anak tangga dalam lorong-lorong indah yang menghubungkan ke Mustawa dengan isak tangisnya. Bagi Belva, lorong ini menjadi lorong yang menyesakkan hatinya. Tangannya terulur memegang kalung Bloodstonenya. Helaan nafas tak sanggup menambal kesedihannya.

“Kau akan selalu bersamaku Hae. Disini, dihati ini,” Belva memegang dadanya.
“Kalung ini, aku akan menjaganya dan menunggumu. Aku menyanyangimu. Aku mencintaimu My Prince, Hae....” sambung Belva lirih.
Tak terasa, sampailah ia di Mustawa dan bertemu dengan banyak teman-temannya. Belva pun tak mau mengundur waktu, ia langsung pergi menemui Profesor Whipint. Hatinya masih dirundung duka. Piau dengan setia selalu menghibur Belva.
Ditempat yang berbeda, tangan Hae terulur menggapai sesuatu dibalik jubahnya. “Kau masih bersamaku Belva…” senyum Hae menghias diwajah manisnya. Tangannya memegang topi yang beberapa hari lalu terpasang dikepala Belva.
                                                                     _END_                         

0 comments:

Post a Comment

wibiya widget