Monday 5 December 2011

Perkembangan pribadi dan sosial anak

Diambil dari berbagai sumber buku dan internet, merupakan tugas kelompok. Sertakan URL jika akan copas!


A. Perkembangan Sosio-emosional dan Hubungan Pertemanan Anak
v  Perkembangan sosio-emosioanal
               Ada 3 pandangan utama yang dapat menjelaskan perkembangan sosio-emosional anak:
1.     Teori ethologi
        Menurut teori ini, jalinan kasih sayang ibu-anak yang merupakan dasar perkembangan sosio-emosional. Pada saat bayi lahir relatif tidak berdaya dan tidak mampu untuk bertahan hidup sendiri. Secara genetik, bayi dapat membuat orangtua tetap dekat dan merawatnya. Ibu juga diharapkan dapat menangkap dan merespon sinyal-sinyal yang diekspresikan oleh bayi.
2.     Teori belajar-sosial
        Jalinan kasih sayang ibu-anak merupakan hasil dari interaksi antara ibu-anak yang merupakan kombinasi penguatan positif dan negatif. Penguatan positif diperoleh dari perilaku-perilaku yang menyenangkan dan penguatan negatif diperoleh dari perilaku-perilaku yang tidak menyenangkan.
3.     Teori perkembangan kognitif
        Menurut teori ini, perilaku sosial diperoleh dari upaya bayi mengasimilasi peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai ke dalam struktur mentalnya.  Jika bayi menghadapi stimulus atau peristiwa yang familier, maka ia akan menggabungkan stimulus tersebut ke dalam struktur mental yang sudah ada. Begitupun sebaliknya.
               Perkembangan awal emosi pada bayi dilakukan dengan menelaah ekspresi wajah. Ekspresi wajah bayi ini merefleksikan suasana emosional yang dialaminya.
               Proses perkembangan dan differensiasi emosi pada anak menurut Bridges:
1.    Saat lahir, bayi memiliki kepekaan umum terhadap rangsangan tertentu misalnya suara, cahaya, temperatur, dsb. Kepekaan umum ini merupakan dasar proses perkembangan dan differensiasi emosi-emosi lainnya
2.   Umur 3 bulan, rasa ketidaksenangan dan kegembiraan bayi mulai didefinisikan. Bayi akan tersenyum bila mendapat stimulus yang menyenangkan, dan menangis bila mendapat hal yang tidak menyenangkan.
3.   Umur 3-6 bulan, rasa ketidaksenangan bayi mulai terdeferensiasi menjadi kemarahan, kebencian, dan ketakutan.
4.   Umur 9-12 bulan, rasa kegembiraan bayi juga mulai terdeferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang. Kasih sayang kepada orang-orang, benda-benda dan kegairahan untuk melakukan sesuatu yang disenanginya.
5.   Pada umur sekitar 18 bulan, rasa cemburu pada anak mulai tumbuh misalnya bila orang yang disayanginya berada dekat-dekat atau bersenang-senang dengan orang lain.
6.   Sekitar 2 tahun, rasa senang anak menjadi keasyikan dan kenikmatan terhadap sesuatu. Anak akan terlihat asyik berlama-lama dengan sesuatu yang dianggapnya menyenangkan dan dapat menghiraukan hal-hal lain disekitarnya.
7.   Sekitar 5 tahun, proses diferensiasi atau perkembangan emosi anak  tampak mencapai puncak. Timbul rasa malu, cemas, kecewa, harapan dan kasih sayang.
      Penajaman dan penghalusan fungsinya masih terus berkembang pada anak-anak usia SD melalui pengalaman-pengalaman interaksional dengan lingkungannya.
Faktor penting yang berpengaruh pada perkembangan sosio-emosi anak :
        Perlakuan dan cara pengasuhan orang tua
        Ini merupakan unsur yang sangat dominan, karena orang tua paling banyak memiliki kesempatan berinteraksi dengan anak pada awal perkembangan. Ada tiga unsur interaksi orang tua dengan anak :
1. Interaksi tatap  muka : hal ini penting bagi pengembangan komunikasi yang efektif dan hubungan kasih sayang yang kuat. Ibu harus mampu merespon bayi, bila tidak maka bayi akan menampakan kesulitan dan protes terhadap ibunya.
2. Kasih sayang dan kekerasan : kasih sayang antara ibu-anak terlihat dari kehangatan dalm berkomunikasi, merespon kebutuhan bayi, menghiburnya saat menangis, wajah bayi yang penuh senyum dan kehangatan saat bersama orang tua dan menangis jika berpisah. Kasih sayang orang tua yang kuat dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif anak.  Kekerasan identik dengan hukuman fisik. Terkadang orangtua tidak sengaja melakukan perlakuan keras, hal ini memiliki konsekuensi negatif baik terhadap perkembangan kognisi maupun perkembangan sosio-emosional anak.
3. Gaya pengasuhan orangtua. Ada tiga tipe pengasuhan orang tua yaitu otoriter, permisif dan otoritatif.
        Kesesuaian antara bayi dan pengasuh
        Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain yang dapat menimbulkan persesuaian diantara keduanya. Ketidakcocokan akan menimbulkan dampak negatif yang serius dalam perkembangan anak, misalnya anak stress, murung, frustasi dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Yang paling penting untuk dipahami oleh pengasuh adalah tangisan bayi.
        Temperamen bayi
        Cara berperilaku bayi yang dipengaruhi oleh aspek genetis dan lingkungan. Ada tiga gaya berperilaku bayi yaitu bayi yang mudah, sulit, dan lamban. Bayi yang mudah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia, mau mendekati objek baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, sering menangis, sulit beradaptasi. Bayi yang lamban cenderung kurang adaptif, menarik diri, kurang aktif, respon kurang.
        Perlakuan guru di sekolah
                Disekolah guru adalah perencana dan bertanggung jawab utama kegiatan-kegiatan di sekolah sehingga bagaimana lingkungan sekolah itu berpengaruh terhadap anak sangat tergantung kepada apa yang mereka perbuat disekolah. Pengaruhnya tidak hanya mengembangkan kognitif anak, melainkan juga pengalaman-pengalaman interaksioanal guru dengan anak. Guru bisa menjadi idola dan bisa pula sebaliknya.
v  Hubungan pertemanan (rekan sebaya)
              Hubungan pertemanan ini ditandai dengan semakin  terlibatnya anak dalam aktifitas atau interaksi dengan teman sebaya. Dua faktor yang mendorong anak menjalin hubungan pertemanan. Pertama adalah adanya perangkat keterampilan fisik dan komunikasi oleh anka sehingga memungkinkan ia untuk lebih memperluas jaringan hubungan dengan orang lain. Kedua, karena kelompok teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan sosial anak.
              Adanya kesamaan minat, harapan, pola pikir, dsb yang dapat membuat anak senang dan puas yang tidak dapat diperoleh dari orangtua atau orang dewasa. Sejalan dengan bertambahnya usia, anak akan lebih banyak menggunakan waktu bersama dengan teman sebayanya.
Unsur determinasi yang mempengaruhi hubungan pertemanan sebagai perkembangan sosio-emosional anak :
1.   Kesamaan usia : memungkinkan anak untuk memiliki minat-minat dan tema-tema pembicaraan atau kegiatan yang sama sehingga mendorong terjalinnya hubungan pertemanan.
2.   Situasi :  misalnya pemilihan permainan kompetitif atau kooperatif yang akan menggunakan orang / objek tertentu.
3.   Keakraban :  keakraban dapat mendorong munculnya perilaku yang kondusif bagi ternbentuknya persahabatan.
4.   Ukuran kelompok : bila jumlah anak dalam kelompok sedikit maka interaksi cenderung lebih intens, baik, berpengaruh.
5.   Perkembangan kognitif anak : anak yang kemampuan kognitifnya meningkat, hubungan pertemannya juga meningkat. Anak akan dipercaya sebagai pemimpin dan memghadapi persoalan yang perlu dipecahkan.

B. Perkembangan Identitas diri (self identity)
            Menurut Erikson, identitas diri seseorang terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial. Setiap individu akan dihadapkan pada krisis-krisis kehidupan dalm setiap fase perkembangannya jika individu mampu mengatasi krisis-krisisnyang dihadapinta, maka ia akan memiliki kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan untuk menguasai lingkungan. Krisis yang dialami dialami oleh bayi hingga masa anak yaitu :
1. Kepercayaan vs ketidakpercayaan (basic trust vs basic mistrust)
            Mencakup kepercayaan dan perasaan bahwa dirinya dipercayai dan ada keterkaitan antara kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan lingkungannya. Kepercayaan pada bayi akan terbentuk jika orang tua dan orang dewasa memenuhi kebutuhannya. Begitupun jika sebaliknya. Rasa tidak percaya pada bayi juga harus tetap ada tetapi tidak boleh berlebihan, guna mendeteksi hal-hal buruk yang akan membahayakan dirinya.
2. Kemandirian vs malu dan keraguan
            Bila anak diberi kesempatan yang cukup atas kemampuannya dan mendapat bimbingan maka ia akan bersikap mandiri. Sebaliknya jika anak dipaksakan dengan apa yang tidak sesuai dengan kemampuannya, ia akan ragu dan malu dalam berbuat.
3. Inisiatif vs merasa berdosa
            Dalam mengidentifikasi dirinya, anak mulai berinisiatif jika dia diberi kesempatan. Namun jika dia ditegur atau dikekang maka anak akan merasa serba salah atau merasa berdosa.
4. Mampu berkarya vs inferioritas
            Pengalaman keberhasilan yang diperoleh anak akan akan timbul rasa percaya pada diri anak bahwa ia dapat berkarya. Namun jika anak banyak kegagalan, dia akan cenderung merasa tidak percaya diri dan merasa bahwa dirinya tidak berani (inferior).

C. Perkembangan Kesadaran Identitas Jenis Kelamin (Gender Identity)         
Kesadaran identitas jenis kelamin (gender identity) adalah kesadaran anak tenteng konsep peran pria dan wanita dalam kehidupan.
Dari aspek biologis, adanya perbedaan anatomis dan hormon antara pria dan wanita. Pria cenderung lebih agresif dan instrusif sedangkan wanita bersifat inslusif dan pasif. Dari aspek social, anak mempelajarinya melalui peniruan dan observasi terhadap perilaku orang lain. Dari aspek media massa, melalui media massa akan mempengaruhi perkembangan peran seks. Dan yang terakhir dari aspek pengaruh perkembangan kognitif. Seiring dengan perkembangan kognitifnya anak terus didorong untuk tetap konsisten berperilaku sesuai dengan peran jenis kelamin yang ada dibenaknya tersebut.
·         Perbedaan peran jenis kelamin
           Dalam aspek kognitif dan prestasi, ada kecenderungan (meski belum meyakinkan) bahwa kemampuan verbal wanita lebih tinggi daipada pria. Dalam segi sosial dan kepribadian, pria cenderung lebih agresif dan aktif sedangkan wanita lebih mampu menbaca emosi orang lain, toleran dan peduli.
·         Pembentukan tipe peran jenis kelamin
           Anak-anak akan peka terhadap aktivitas yang sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Model-model yang diamati oleh mereka akan berpengaruh untuk melakukan peniruan. Misalnya saja dalam hal memilih permainan, teman bermain, pemilihan baju, gaya rambut, nama, cara berkomunikasi, dll.
·         Klasifikasi peran jenis kelamin
           Anggapan yang lazim diterima bahwa anak laki-laki harus tumbuh menjadi maskulin dan anak perempuan tumbuh menjadi feminim.



D. Perkembangan Moral
            Pengertian moral mengacu pada aturan-aturan umum mengenai baik-buruk dan benar-salah yang berlaku di masyarakat secara luas dan bagaimana orang seharusnya dengan dunia sosialnya. Anak dituntut untuk dapat mematuhinya. Perubahan dalam pengetahuan dan pemahamannya dipandang sebagai perkembangan moral.
1. Perkembangan moral anak menurut Piaget
            Dalam hal ini, ia memfokuskan pada aspek cara berfikir anak tenteng isu-isu moral. Menurutnya anak berfikir melalui 2 cara yaitu cara heteronomus dan moralitas otonomus. Tahap heteronomus, anak menganggap keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat lingkungan yang tidak berubah dan lepas dari kendali manusia. Tahap moralitas otonomus, anak sudah mengetahui bahwa aturan dan hukum diciptakan manusia. Saat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial melalui interaksi teman sebaya untuk penalaran moralnya.
2. Perkembangan moral menurut Kohlberg
            Pendekatannya memilih untuk mendalami struktur berfikir yang terlibat dalam penalaran moral. Ada 6 tahap dalam perkembangan penalaran moral yang dibagi menjadi 3 level :
     level 1: penalaran moral prakonvensional
Pada level paling dasar, penalaran moral dikendalikan pada faktor eksternal. Pertimbangan moral anak pada usia ini didasarkan pada akibat-akibat yang bersifat fisik dan atau bersifat hedonistik. Sesuatu dianggap benar jika menyenangkan dan dianggap jelek atau salah jika menyakitkan.
o  tahap 1: orientasi kepatuhan dan hukuman
Suatu tindakan dinilai benar atau salah tergantung dari akibat hukuman yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Misalnya, anak dapat menganggap seorang dokter jahat karena persepsinya bahwa dokter suka menyakiti.
o  tahap 2: orientasi individualisme dan instrumental
Pada tahap ini, suatu tindakan dianggap benar jika berkaitan dengan kejadian eksternal yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya atau kebutuhan seorang yang sangat dekat hubungannya dengan yang bersangkutan. Mengarah pada suatu peralihan perspektif yaitu melibatkan orang lain.
     level 2: penalaran konformis interpersonal
Pada level ini, penalaran moral mengacu kepada tindakan seperti yang diharapkan oleh orang lain. Tindakan dinilai benar jika sesuai dengan aturan yang berlaku di kelompok.
o  tahap 3: orientasi konformis interpersonal
Terfokus pada apa yang diyakini oleh kebanyakan orang sebagai kebaikan/kebenaran. Keinginan utnutk dipandang sebagai anak baik-baik oleh orang lain. Adanya aturan dalam masyarakat membuat anak mematuhi aturan tersebut sehingga dirinya mendapat penghargaan.
o  tahap 4: orientasi hukum dan aturan
Tahap ini, adanya aturan-aturan yang lebih formal dalam masyarakat. Kegiatan bermoral apabila sesuai dengan pemeliharaan aturan masyarakat dan memungkinkan lembaga menjalankan fungsinya. Individu melaksanakan aturan tersebut sebagai tugas dan kewajiban.
     level 3: penalaran moral pascakonvensional
Pada level ini, beranggapan bahwa dalam aturan-aturan sosial itu ada unsur-unsur yang dapat berubah dan bersifat subjektif, tergantung pada kondisinya.
o  tahap 5: orientasi kontrak sosial
Pada tahap ini, ada suatu hubungan timbal balik sebagai hasil dari individu dengan masyarakat untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
o  tahap 6: orientasi etis universal
Adanya pemahaman lebih tajam tentang subyektifitas aturan-aturan social. Pada tahap ini melibatkan prinsip-prinsip moral yang transeden dan universal yang bersumber dari kata hati. Seseorang harus hidup dengan hatinya yang menjadi sumber tertinggi dari pertimbangan-pertimbangan moral.

E. IMPLIKASI BAGI PERKEMBANGAN LINKUNGAN BELAJAR YANG KONDUSIF
               Perkembangan aspek sosioemosional anak pada usia SD masih perlu diperhatikan misalnya untuk menghadapi anak yang bermasalah diperlukan perhatian dan penyediaan layanan bimbingan khusus dari pihak sekolah kepada yang bersangkutan. Perlu adanya upaya pengembangan kesadaran sosioemosi anak dan juga upaya penciptaan kondisi yang memberi kesempatan kepada setiap anak untuk mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar sesuai dengan kultur yang berlaku dengan disertai contoh kongkrit dari guru dalam perilaku sehari-hari.
               Menonjolnya peran teman sebaya bagi anak SD juga perlu diperhatikan agar anak dapat lebih terarahkan. Berkenaan dengan perkembangan identitas diri dan identitas peran jenis kelamin, sekolah perlu menyelaraskan kondisi lingkungan sekolah dan perlakuan yang diberikan sesuai dengan kondisi anak.





0 comments:

Post a Comment

wibiya widget